SAAT PERIKANAN INDONESIA DIHADAPKAN DENGAN GLOBALISASI
Bertambahnya hubungan dan ketergantungan antara bangsa dannegara diseluruh dunia dalam sebuah sistem perdagangan, investasi, budaya dan perekonomian secara keseluruhan merupakan sebuah indicator bahwa saat ini kita telah memasuki eranya globalisasi. Namundemikian ada juga yang berpendapat bahwa globalisasi tidak lebih dari sebuah proyek yang di bawa oleh negara-negara adikuasa. Dari sudutpandang ini, globalisasi tidak lain adalah sebuah kapitalisme dalambentuknya yang paling modern. Negara-negara yang kuat dan kaya,secara praktis mengendalikan ekonomi dan negara-negara kecil makintidak berdaya karena tidak mampu bersaing.
Secara umum kondisi tersebut juga dapat mempengaruhi hampirsemua aspek yang ada dalam kehidupan masyarakat, termasuk salahsatunya dibidang perikanan yang sekarang ini sedang dalam tahappengembangan dengan memanfaatkan kemajuan teknologikomunikasi dan transportasi, namun tidak lepas dari kendala akibatdari perkembangan globalisasi, yang tidak hanya membawa dampakpositif tapi juga membawa dampak negative bagi kemajuan perikanan di indonesia.
Pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya hubungan antarnegara di dunia, terutama di negara-negara sedang berkembangseperti Indonesia tidak hanya membuat lahan daratan semakin sempit, tetapi juga mendorong peningkatan jumlah kebutuhan pangan untukhidup salah satunya adalah kebutuhan akan pangan hewani sepertiikan. Laju peningkatan kebutuhan ikan di pacu juga oleh peningkatantingkat kehidupan dan pengetahuan masyarakat tentang keunggulanikan jika bandingkan dengan sumber protein lain. Oleh karenanyapeningkatan produksi dan kebutuhan akan ikan semakin tinggi baik di dalam maupun di luar negeri.
Selain itu ada nya isu-isu globalisasi perikanan, seperti isu globalisasiproduksi, dimana negara-negara krisis factor produksi yang sama, seperti krisis energy dengan kenaikan harga bahan bakar minyak ( BBM ), disini tergambarkan bahwa produksi perikanan suatu negarasangat tergantung pada kondisi sumber daya ikan dan energi global. Isu yang lain adalah di dalam pengelolaan sumber daya perikanan di mana setiap negara dituntut untuk tunduk pada aturan-aturaninternasional yang berlaku sehingga kita terbatas di dalam melakukankegiatan ekspor-ekspor ikan ekonomis dunia seperti ikan tuna.
Aspek – aspek positif dan negatif globalisasi
Globalisasi merupakan perkembangan yang tidak bisa dihindari dan dicegah. Kemajuan-kemajuan di bidang teknologi komunikasi yang menghasilkan media massa yang canggih mempermudah terjadinya globalisasi. Teknologi informasi dan komunikasi telah menghubungkan manusia seluruh dunia menjadi satu sistem komunikasi. Teknologi telah memperlancar terbentuknya budaya dunia, yakni budaya yang dianut oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Budaya tersebut bisa saja berasal dari salah satu bangsa atau ras. Namun, proses globalisasi telah menjadikannya budaya semua orang diperkenalkan secara sistematis dan intensif keseluruh pelosok dunia.
Proses saling mempengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat. melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa atau kelompok masyarakat yang menghuni nusantara (Sebelum bangsa Indonesia terbentuk), telah mengalami proses dipengaruhi dan mempengaruhi. Pada hakekatnya, bangsa Indonesia atau bangsa-bangsa lain berkembang karena adanya pengaruh-pengaruh luar. Kemajuan bisa dihasilkan oleh interaksi dengan pihak dari luar. gambaran di atas menunjukkan bahwa pengaruh dunia luar adalah sesuatu yang wajar dan tidak perlu ditakutkan. Pengaruh tersebut selamanya mempunyai dua sisi, yaitu positif dan negatif.
Adanya aspek positif dan negatif globalisasi sangat tergantung pada negara yang menerimanya. Bangsa Indonesia tidak akan mendapatkan segi positif dari globalisasi apabila tidak mampu menyiapkan diri dengan baik. Sebaliknya, kita akan mampu menghindari aspek-aspek negatif dari globalisasi apabila kita juga mampu mempersiapkan diri dengan baik pula.
Adapun aspek positif dari adanya globalisasi adalah Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang mempermudah manusia dalam berinterkasi dan mempercepat manusia untuk berhubungan dengan manusia lain. Selain itu kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi yang meingkatkan efisiensi.
sedangkan aspek negatif globalisasi antara lain seperti masuknya nilai budaya luar yang akan menghilangkan nilai-nilai tradisi suatu bangsa dan interaksi dan identitas suatu bangsa, eksploitasi alam dan sumberdaya lain akan memuncak karena kebutuhan yang semakin besar. dalam bidang ekonomi, berkembang nilai konsumerisme dan individual yang menggeser nilai-nilai sosial masyarakat. Dan terakhir adalah terjadinya dehumanisasi, yaitu derajat manusia yang nantinya tidak di hargai karena lebih banyak menggunakan mesin-mesin berteknologi tinggi.
Masyarakat dan bangsa Indonesia perlu mempersiapkan diri agar dapat memenangkan arus globalisasi ini. Tujuannya adalah mendapatkan segi-segi positif dari globalisasi dan mampu menghindarkan diri dari aspek negatif globalisasi. Hal-hal yang perlu dipersiapkan diantarnya adalah seperti pembangunan kualitas manusia Indonesia melalui pendidikan, pemberian keterampilan hidup (Life Skill) agar mampu menciptakan kreatifitas dan kemandirian, berusaha menumbuhkan budaya dan sikap hidup global, seperti mandiri, kreatif, menghargai karya, optimis dan terbuka, selalu berusahamenumbuhkan wawasan kebangsaan dan identitas nasional, dan berusaha menciptakan pemerintahan yang transparan dan demokratis.
Pemanfaatan sumber daya ikan dan persaingannya
Indonesia sebagai negara kepulauan yang beriklim tropis basah memiliki keuntungan komparatif bagi kegiatan penangkapan ikan dilaut dan perairan umum serta budidaya. Kegiatan penangkapan di laut dan perairan umum secara nasional masih di bawah tingkat hasil tangkapan lestari maksimum tetapi terdapat perbedaan intensitas yang sangat beragam menurut wilayah. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut dan perairan umum dewasa ini di bawah Kawasan Barat Indonesia (KBI) telah mencapai atau melampaui tingkat produksi maksimum lestari, karena di masa depan di perlukan pengolahan perikanan (Konservasi dan rehabilitasi) yang rasional. Peningkatan produksi ikan melalui kegiatan penangkapan di laut akan beralih ke kawasan timur indonesia (KTI), perairan laut di dalam, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) indonesia dan laut bebas yang tingkat pemanfaatanya belum optimal. Selain itu untuk penghematan sumber daya perlu di lakukan penanganan dan pengolahan produk yang lebih baik dan pemanfatan hasil sampingan serta pengurangan susut hasil termasuk discard motality.
Peluang peningkatan produksi perikanan melalui penangkapan dari sumberdaya laut di perkirakan masih tetap belum mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Pada tahun 2003 kebutuhan ikan untuk konsumsi domestik dan ekspor di perkirakan akan mencapai 10 juta ton. Dari perikanan tangkap, dengan perkiraan MSY sebesar 6,2 juta ton per tahun, apabila di tetapkan jumlah maksimum yang boleh ditangkap adalah 80 dari MSY, maka akan di peroleh produksi sekitar 5 juta ton per tahun. Sedangkan bila di tambah dengan potensi produksi perikanan umumnya sebesar 0,4 juta ton per tahun maka total produksi akan di peroleh 5,4 juta ton per tahun. Ini berarti sekitar 4,6 juta ton per tahun harus di penuhi dari aquakultur yang saat ini baru menyumbang 0,7 juta ton per tahun.
Berdasarkan proyeksi tersebut, aquakultur menjadi tumpuan harapan dalam memenuhi kebutuhan ikan domestik dan ekspor di masa depan. Namun pengembangan akuakultur akan berhadapan dengan tantangan ekstentifikasi dan intensifikasi lahan akuakultur yang memeperhatikan kelestarian lingkungan. Laju degradasi lingkungan di berbagai daerah meningkat akibat berbagai kegiatan antropogenik misalnya pencemaran dan erosi. Pencemaran, di samping penangkapan ikan yang tak terkendali di perairan umum, menyebabkan terus menurunya produksi dan terancam punahnya berbagai jenis ikan, pencemaran perairan umum juga ikut memepengaruhi penurunan produktifitas akuakultur.
Meskipun demikian terdapat berbagai peluang peningkatan produksi ikan akuakultur antara lain melalui upaya intensifikasi di jawa, ekstensifikasi di luar jawa, pemanfaatan sumber daya laut di daerah pesisir, lahan marginal dan perairan umum untuk keramba serta terobosan peningkatan produktifitas melalui domestikasi dengan memanfaatkan beranekaragaman plasma nutfah. Untuk mendukung keberlanjutan usaha akuakultur beberapa kebijaksanaan diperlukan seperti tegaknya sistem tata ruang, penciptaan iklim usaha yang kondusif.
Pengguna sumberdaya perairan sangat beragam seperti perindustrian, pertambangan, kehutanan, pariwisata, transportasi, energi dan perikanan. Persaingan yang tajam antar pengguna sumber daya perairan telah membawa dampak yang merugikan bagi perikanan.
Permintaan, Penawaran Dan Perdagangan Luar Negeri
Permintaan terhadap produk perikanan di masa depan akan meningkat sebagai konsekuensi pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan daya beli dan kecenderungan perubahan pola konsumsi dari produk peternakan ke produk perikanan.
Kesenjangan antara permintaan dan penawaran yang mendorong peningkatan harga produk perikanan dapat merangsang dunia usaha untuk menanamkan modalnya dalam usaha perikanan terutama yang berorientasi ekspor. Kecenderungan relokasi industri perikanan dari negara maju ke negara berkembang, terutama negara kita yang memiliki sumber daya perikanan yang belum dimanfaatkan secara optimal bila di bandingkan dengan negara-negara lain, dan keunggulan komparatif biaya produksi.
Pada tahun 2003 devisa negara yang di peroleh dari ekspor produk perikanan di upayakan mencapai 10 milyar USD. Bagian terbesar dari komoditas ekspor tersebut berasal dari akuakultur komoditas ikan bernilai ekonomis tinggi seperti udang, berbagai ikan karang, dan ikan hias. Untuk mendukung realisasi ekspor tersebut perlu di benahi strategi pemasaran dan distribusi agar dapat bersaing dalam era globalisasi perdagangan.
Permintaan produk perikanan di dalam negeri juga meningkat dan di perkirakan pada tahun depan konsumsikan mendekati atau mencapai tingkat konsumsi ideal sebesar 20,7 Kg/kapita/tahun, yang berarti akan di butuhkan sedikitnya sekitar 5 juta ton per tahun. Dewasa ini tingkat konsumsi ikan di indonesia sangat beragam. Beberapa daerah telah melampaui target ideal, namun banyak daerah yang masih jauh di bawahnya. Selain diperlukan perbaikan sistem distribusi dan pemasaran, juga di perlukan pengembangan kegiatan budidaya ikan terutama jenis ikan yang dapat di jangkau daya beli masyarakat sesuai dengan preferensi di masing-masing wilayah.
Produk-produk perikanan Indonesia
Sumberdaya ikan indonesia memiliki keanekaragaman jenis baik sebagai ikan konsumsi maupun ikan hias dengan nilai ekonomis yang beragam pula. Selama ini beberapa jenis ikan ekonomis tinggi seperti udang, tuna, cakalang, tuna dan ikan-ikan karang seperti kakap, kerapu dan baronang menjadi komoditas utama untuk ekspor. Di masa depan akan lebih banyak lagi jenis ikan yang di ekspor dengan makin berkembangnya pasar dunia.
Ekspor komoditas perikanan mengalami beberapa pergeseran dalam bentuk olahan dan penyajian sesuai dengan perubahan sosial ekonomi negara-negara pengimpor. Perubahan selera dan gaya hidup konsumen memberikan nilai tambah yang sangat tinggi seperti ikan hidup dan produk olahan yang termasuk siap saji (ready to serve) dan siap di konsumsi. Dalam hal ini, inovasi teknologi yang perlu mendapat prioritas karena kecenderungannya yang semakin berkembang.
Selama ini daya saing komoditas perikanan indonesia di pasar dunia termasuk masih rendah, karena aspek kualitas, biaya dan pengiriman yang belum di perhatikan, sementara negara-negara makin ketat menerapkan persyaratan mutu. Implementasi konsep HACCP ( Hazard Analysis And Critical Control Points ) dan manajemen mutu mutlak di perlukan oleh setiap industri perikanan untuk memenuhi tuntutan pasar. Hal ini perlu di dukung oleh penelitian dalam mengidentifikasi titik-titik kritis dari rantai produksi.
Jaminan mutu termasuk aspek kebersihan, kesehatan dan gizi tidak hanya di tuntut sebagai konsumen di negara importir tetapi juga oleh konsumen domestik yang makin meningkat kesadaranya. Perlindungan keamanan pangan makin penting terutama dengan di terbitkannya Undang-Undang Pangan 1996. Adanya tuntutan konsumen dan implikasi pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut perbaikan sistem produksi.
Produk perikanan selain menghasilkan berbagai produk olahan pangan juga menghasilkan berbagai produk nonpangan sebagai bahan bagi industri farmasi, kosmetik, pakan dan industri lainya. salah satu produk yang perlu di kembangkan adalah senyawa-senyawa alami yang terdapat dalam produk perikanan yang potensial untuk industri karena mempunyai nilai tambah sangat tinggi.
Pengaruh globalisasi bagi produksi perikanan
Tahun 2008 fenomena globalisasi perikanan mengemuka. Berlakunya EPA 1 juli 2008 lalu membuat bea 51 produk perikanan kita ke jepang menjadi nol. Ini semula pertanda globalisasi semakin menguat. Namun globalisasi perikanan juga bermasalah. Pertemuan World Trade Organization (WTO) di Jenewa yang gagal juga terkait dengan perikanan. Begitu pula krisis finansial global memporak-porandakan perdagangan perikanan. Pertanyaanya : bagaimana globalisasi perikanan terhadap Indonesia? Globalisasi perikanan minimalnya mempunyai tiga isu.
Isu pertama adalah globalisasi produksi. Saat ini total produksi perikanan dunia mencapai 145 juta ton, yang masih di dominasi perikanan tangkap (64), dan budidaya (36). Sumbangan Negara sedang berkembang (NSB) terhadap total produksi dunia mencapai 80 dan terhadap produksi budidaya mencapai lebih dari 90%. Bayangkan konstribusi Cina sendiri sudah mencapai 67. Isu produk menjadi isu global taktala semua negara kini merasakan factor krisis produk yang sama, seperti krisis energi. Harga BBM yang mencapai lebih dari 140 USD/barel tentu memukul usaha perikanan tangkap. Di prediksi bahwa perikanan dunia telah mengosumsi 50 milyar liter bahan bakar atau 1,2% konsumsi dunia menghasilkan 80 juta ton ikan. Jadi, untuk menangkap 1 ekor ikan butuh 0,62 liter BBM. Rasio ikan/liter bahan bakar ini tentu lebih tinggi dari produksi protein hewani lainnya.
Di Amerika Serikat telah di hitung bahwa kapal trawl butuh 1 liter BBM/kilogram ikan, sementara gillnet sepertiga liter/kilogram dan purse seine 0,03 liter/kilogram. Dengan sendirinya trawl di prediksi di mana-mana akan semakin menurun. Di Vietnam , pangsa BBM terhadap biaya operasi penangkapan mencapai 52 ( trawl ), 40 (long line), 20 (purse seine). Di Indonesia juga kurang lebih sama. Karena itu ke depan budidaya akan terus di dorong dan dapat melebihi tangkap, seperti sudah ditunjukan cina dan Vietnam. Namun di perkirakan tahun 2030 di dunia pun hasil penangkap masih lebih besar (93 juta ton) dan budidaya (83 juta ton). Budidaya menjadi jalan keluar karena semua orang sadar bahwa kini 76 perikanan di dunia sudah di eksploitasi penuh bahkan lebih. Disini tergambarkan bahwa betapa produksi perikana suatu negara sudah sangat tergantung kondisi sumberdaya ikan dan energi global. Bencana produksi di alami baik negara sedang berkembang (NSB) dan negara miskin (NM), akibat globalisasi energi di mana BBM menjadi mainan para spekulan internasional. Yang membedakan adalah adaptasinya terhadap faktor eksternal tersebut, yang tentu perikanan NSB lebih lambat dan menyiasati dan akhirnya kolaps.
Krisis finansial global makin menyengsarakan sektor produksi. Hampir bisa di duga bahwa investasi sektor perikanan akan menurun. Paling tidak di lihat dari naiknya suku bunga perbankan yang tidak kondusif untuk investasi. Bagi investasi yang menuntut bahan baku impor juga akan terkendali dengan naiknya kurs rupiah yang akhir tahun ini bervariasi Rp.11-13 ribu. Kondisi ini mestinya menuntut kita untuk mengembangkan industry perikanan dengan bahan baku lokal dan mendorong tumbuhnya industry pakan.
Pengaruh globalisasi bagi pengelolaan sumber daya perikanan
Selain hal di atas globalisasi juga mempengaruhi pengelolaan sumberdaya perikanan. Baik negara sedang berkembang maupun negara miskin di tuntut untuk tunduk pada aturan-aturan internasional tentang bagaimana mengelola sumber daya supaya lestari, kalau tidak mau di tuduh melakukan IUU (Ilegal unregulated, andUnreported) fishing, termasuk di dalamnya pencurian ikan dan tangkapan yang tidak di laporkan. Nilai IUU Fishing di dunia kini nilaimya mencapai 15 milyar USD. FAO mencatat sekitar 30 hasil tangkapan ikan-ikan tertentu di dunia tergolong IUU Fishing. Di Afrika bisa mencapai 50 . Di Uni Eropa (UE), IUU masih berlangsung karena bias menghemat 20 produksi daripada praktek yang legal. Saat ini Uni Eropa yang paling bergencar membasmi karena ternyata 95 produk impor Uni Eropa berasal dari IUU Fishing. Karena itu Uni Eropa menerapkan UE Catch Certification Scheme yang akan mengontrol produk-produk ikan yang masuk ke pasar Uni Eropa.
Bagi Indonesia adanya gerakan anti IUU Fishing bisa menjadi berkah dan bencana. Berkahnya adalah karena laut kita adalah obyek pencurian ikan dari kapal-kapal asing yang beroperasi di perairan laut kita, belum ada angka resmi kerugian kita, tapi tahun 2004 kerugian kita mencapai 4-5 trilyun/tahun sekitar 1000 kapal yang di kategorikan IUU Fishing ada sehingga kerugian mencapai 1-4 triliun. Lalu bagaimana dengan bencananya? Kini kita tidak bisa menangkap ikan di laut internasional secara bebas. Kita harus menjadi anggota RFMO ( Regional Fisheries Management Organization ), atau Komisi Pengelolaan Perikanan Regional, kalau kita hendak menangkap ikan di wilayah tersebut, seperti untuk menangkap ikan tuna di samudera hindia kita harus menjadi anggota IOTC (Indian Tuna Comission), juga CCSBT (Convestion Of Conservation for Souther Bluefin Tuna), dan di pasifik kita harus menjadi anggota WCPFC (Western Central Pacific Fisheries Commite), kalau kita tidak menjadi anggota dari organisasi-organsasi tersebut maka akan di anggap illegal dan produk kita akan di embargo di pasar internasional.
Embargo untuk tuna sirip kita masih berlaku di Jepang sejak tahun 2005 karena kita tidak menjadi anggota CCSBT. Padahal, spawning ground tuna tersebut ada di wilayah selatan Indonesia, yyang mestinya kita berhak atas tuna tersebut. Jepang tidak punya akses langsung ke perairan CCSBT (Convestion of Conservation for Souther Bluefin Tuna) maupun IOTC (Indian Tuna Commision) ternyata dominan, begitu pula Uni Eropa yang tidak punya akses langsung ke perairan WCPFC (Western Central Pacifik Fisheries Commite) yang kuat. Namun kini kita sudah mencapai anggota kedua RFMO (Regional Fisheries Management Organization) tersebut, ini menunjukan bahwa pengelolaan perikanan di dunia adalah masalah politik internasional dan tidak hanya masalah teknis. Dan disinilah negara sedang berkembang (NSB) menjadi korban.
Pengaruh globalisasi bagi ekonomi
Pengaruh globalisasi bagi ekonomi
Pada tahun 2007, ekspor produk perikanan dunia mencapai 93 milyar USD dan tumbuh sekitar 9 dan kontribusi negara sedang berkembang (NSB) dan negara miskin (NM) sama, yakni 50-50. Negara sedang berkembang menikmati penerimaan bersih sekitar 25 milyar USD dari ekspornya. Pasar dunia terbesar Uni Eropa (42,3), Jepang (15,6), dan Amerika Serikat (15,6), yang totalnya mencapai 73 . Perdagangan di prediksi terus meningkat seiring tren peningkatan konsumsi ikan/kapita, yang dalam kurung waktu 30 tahun meningkat dari 11,5 kilogram/kapita/tahun menjadi 17 kilogram/kapita/tahun. Namun kita saat ini sudah ketinggalan dari Thailand dan Vietnam. Ekspor Thailand sudah lebih dari 4 milyar USD, Vietnam 3,7 milyar USD (2007) dan kita baru sekitar 2,5 milyar USD. Kini Uni Eropa, Jepang dan Amerika Serikat sama-sama menerapkan syarat yang makin ketat, karena terkait dengan keamanan pangan (Food Safety).
Apakah perdagangan bebas menguntungkan? Pertama, memang negara sedang berkembang punya kesempatan meraih keuntungan dari pasar negara miskin) yang makin terbuka. Namun persoalanya bukan relasi antara negara sedang berkembang dengan negara miskin , tetapi lebih pada antara negara-negara sedang berkembang. Bayangkan bila perdagangan bebas terjadi di ASEAN saja, maka sudah di duga pembudidaya ikan patin dan lele akan kolaps karena produk Vietnam yang lebih bersaing. Kedua, keuntungan ekspor negara sedang berkembang hanya akan di nikmati para eksportir dan pengusaha besar. Nelayan dan pembudidaya ikan kecil sebagai pemasok bahan baku hanya akan menikmati harga lokal. Apakah dengan bea masuk nol persen ke Jepang saat ini nelayan dan pembudidaya ikan juga menikmati kelebihan profit? World Fish (2008) menunjukan bahwa di Afrika perdagangan perikanan tidak berhubungan dengan pembangunan ekonomi dan manusia.
Apakah perdagangan bebas menguntungkan? Pertama, memang negara sedang berkembang punya kesempatan meraih keuntungan dari pasar negara miskin) yang makin terbuka. Namun persoalanya bukan relasi antara negara sedang berkembang dengan negara miskin , tetapi lebih pada antara negara-negara sedang berkembang. Bayangkan bila perdagangan bebas terjadi di ASEAN saja, maka sudah di duga pembudidaya ikan patin dan lele akan kolaps karena produk Vietnam yang lebih bersaing. Kedua, keuntungan ekspor negara sedang berkembang hanya akan di nikmati para eksportir dan pengusaha besar. Nelayan dan pembudidaya ikan kecil sebagai pemasok bahan baku hanya akan menikmati harga lokal. Apakah dengan bea masuk nol persen ke Jepang saat ini nelayan dan pembudidaya ikan juga menikmati kelebihan profit? World Fish (2008) menunjukan bahwa di Afrika perdagangan perikanan tidak berhubungan dengan pembangunan ekonomi dan manusia.
Kini krisis finansial global telah terjadi dan berdampak langsung pada perdagangan perikanan dunia. Lesunya pasar ekspor di Amerika Serikat dan Eropa tersebut akan menjadikan negara berpenduduk besar menjadi sasaran baru ekspor perikanan. Karena itulah perlu di antisipasi fenomena ini melalui instrument pengendalian impor, seperti peningkatan mutu uji produk, pembatasan pelabuhan masuknya produk impor dan dalam beberapa kasus perlu pengenaan tarif. Diversifikasi pasar juga sangat penting.
Sementara itu isu subsidi juga mengancam. Menurut APEC (2000) nilai subsidi perikanan di dunia mencapai 12,6 milyar USD dan mencakup 70% negara-negara produsen perikanan. Sementara Milazzo (1998) memprediksi sekitar 20,5 milyar USD untuk seluruh perikanan dunia. Dan OECD (2003) serta World Trade Organization (WTO) menghitung masing-masing hanya sekitar 5,97 dan 0,82 milyar USD. Ini di anggap membahayakan perdagangan bebas dan menyebabkan overeksploitasi. Namun, Marine Resources Assesment Group (MRAG) pada tahun 2000 mengingatkan bahwa masalah over eksploitasi sumberdaya ikan di negara sedang berkembang ini bukan karena subsidi, tetapi karena lemahnya pengelolaan sumber daya perikanan. Hal yang sama juga sesuai dengan hasil riset beberapa ilmuwan di Jepang di World Fisheries Congres lalu yang melihat bahwa subsidi tidak berkolerasi dengan kerusakan sumber daya. Melihat besarnya masalah kemiskinan nelayan, maka subsidi secara langsung, seperti sistem kredit khusus bagi nelayan, tentu masih relevan. Hanya saja, memang subsidi tersebut mesti di sertai dengan skema fisheries management yang memadai.
Untuk itu, globalisasi perikanan harus di sikapi secara komprehensif dan kritis. Tanpa itu, kita akan terus menjadi korban.http://ichastore.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar